Sunday, April 27, 2025

Tantangan Komunikasi di Era Hyperconnectivity (Ketika Komunikasi Kilat Membunuh Pemahaman)



Oleh. Krishna Leander

Tahun 2025 menjadi saksi percepatan luar biasa dalam dunia komunikasi, didorong oleh perkembangan teknologi seperti 5G, Internet of Things (IoT), dan kecerdasan buatan (AI). Era ini sering disebut sebagai era hyperconnectivity suatu kondisi ketika manusia, perangkat, dan sistem saling terhubung hampir tanpa jeda. Di tengah kecepatan ini, justru muncul tantangan besar, ketidakpahaman, misinterpretasi pesan, dan fragmentasi sosial. Menurut Manuel Castells (2000) dalam The Rise of the Network Society, "jaringan informasi global menciptakan masyarakat yang bergerak cepat, namun juga membawa risiko eksklusi sosial dan miskomunikasi." Pernyataan ini menjadi semakin relevan di tahun 2025, ketika kecepatan komunikasi tidak selalu sejalan dengan kedalaman pemahaman.

Salah satu teori yang dapat digunakan untuk menganalisis fenomena ini adalah Teori Media Richness (Daft & Lengel, 1986). Teori ini menyatakan bahwa efektivitas komunikasi bergantung pada kemampuan media dalam menyampaikan informasi yang ambigu atau kompleks. Media kaya (seperti komunikasi tatap muka) lebih efektif untuk pesan kompleks, sedangkan media miskin (seperti pesan teks) kurang efektif. Daft dan Lengel menyatakan, "A rich medium is able to handle multiple information cues simultaneously, facilitate rapid feedback, and establish a personal focus" (Daft & Lengel, 1986). Dengan maraknya komunikasi berbasis teks cepat dan otomatisasi di 2025, banyak media komunikasi justru tergolong "poor media," sehingga rentan menimbulkan ketidakpahaman.

Tantangan Komunikasi di Era Hyperconnectivity

Pertama, Overload Informasi.

Volume pesan yang diterima individu dalam sehari meningkat drastis. Menurut laporan dari World Economic Forum (2024), rata-rata orang menerima sekitar 74 gigabyte data per hari di tahun 2025. WEF menyebutkan, "In a hyperconnected world, the risk is not access to information, but being drowned by it" (World Economic Forum, 2024). Terlalu banyak informasi membuat individu sulit memproses pesan secara kritis, menyebabkan distorsi makna dan miskomunikasi.

Kedua, Reduksi Konteks

Komunikasi cepat melalui chat, email singkat, dan otomatisasi pesan sering menghilangkan konteks emosional. Hal ini sejalan dengan konsep Media Synchronicity Theory (Dennis et al., 2008), yang menekankan pentingnya kesesuaian antara media komunikasi dan kebutuhan tugas. Dennis et al. menjelaskan, "The richness and immediacy of communication media must match the complexity and ambiguity of the task at hand to be effective" (Dennis, Fuller, & Valacich, 2008). Ketidakcocokan ini sering menyebabkan salah tafsir, terutama dalam komunikasi lintas budaya.

Ketiga, Trust Deficit

Meningkatnya penggunaan AI dalam komunikasi, seperti chatbot dan voicebot, memperbesar tantangan kepercayaan. Menurut penelitian Edelman Trust Barometer 2025, hanya 48% masyarakat global yang mempercayai pesan yang dikirimkan melalui sistem otomatis. Edelman menyatakan, "In an era where communication is often mediated by algorithms, the human element of trust becomes more fragile and elusive" (Edelman Trust Barometer, 2025). Kurangnya kepercayaan memperparah ketidakpahaman dalam komunikasi.

Implikasi Sosial dan Organisasi

Bagi dunia bisnis dan organisasi, tantangan komunikasi ini dapat berdampak pada menurunnya efektivitas kerja sama tim, meningkatnya konflik internal, serta memburuknya hubungan dengan pelanggan. Di tingkat sosial, hyperconnectivity mendorong polarisasi opini dan menguatkan bias konfirmasi, mempersempit ruang untuk dialog terbuka.

Solusi dan Rekomendasi

· Meningkatkan Literasi Digital. Individu perlu dilatih untuk memilah, memahami, dan menanggapi informasi secara kritis.

· Memilih Media yang Sesuai. Gunakan media komunikasi yang kaya (seperti video call atau pertemuan langsung) untuk menyampaikan pesan yang kompleks.

· Membangun Budaya Komunikasi Terbuka. Organisasi perlu mendorong keterbukaan, umpan balik, dan memperkuat kepercayaan di tengah penggunaan teknologi otomatis.

· Mengintegrasikan Unsur Kemanusiaan dalam Teknologi. Pengembangan AI komunikasi harus mempertimbangkan aspek empati, etika, dan transparansi.

Konklusi

Era hyperconnectivity di 2025 menawarkan peluang besar dalam mempercepat pertukaran informasi, tetapi juga membawa tantangan serius berupa ketidakpahaman dan miskomunikasi. Teori Media Richness dan Media Synchronicity menunjukkan pentingnya memilih media yang sesuai untuk menjaga keefektifan komunikasi. Ke depan, hanya dengan pendekatan yang kritis, etis, dan manusiawi, kita bisa mengatasi paradoks komunikasi di era super-cepat ini.

Sumber. Referensi

· Castells, M. (2000). The Rise of the Network Society (2nd ed.). Oxford: Blackwell Publishers.

· Daft, R. L., & Lengel, R. H. (1986). Organizational Information Requirements, Media Richness and Structural Design. Management Science, 32(5), 554-571. https://doi.org/10.1287/mnsc.32.5.554

· Dennis, A. R., Fuller, R. M., & Valacich, J. S. (2008). Media, Tasks, and Communication Processes: A Theory of Media Synchronicity. MIS Quarterly, 32(3), 575–600. https://doi.org/10.2307/25148857

· World Economic Forum. (2024). The Hyperconnected Future Report 2024. Retrieved from https://www.weforum.org

· Edelman. (2025). Edelman Trust Barometer 2025. Retrieved from https://www.edelman.com/trust



No comments:

Post a Comment

Komentar

DIGITAL NATIVE, DIGITAL NOISE (Membangun Komunikasi Berkualitas di Kalangan Gen Z)

  Oleh Krishna Leander Generasi Z—kelompok yang lahir antara tahun 1997 hingga 2012—merupakan generasi pertama yang tumbuh sepenuhnya di ten...