Oleh : Krishna Leander
Pada era digitalisasi saat ini, suara paling nyaring di ruang publik bukan lagi berasal dari politisi senior atau tokoh masyarakat, melainkan dari ujung jari Generasi Z. Lahir dan besar di tengah ledakan media sosial, Gen Z menjadikan dunia maya sebagai “panggung utama” untuk menyuarakan pikiran, menyebar keresahan, dan menantang status quo. Namun, muncul satu pertanyaan penting: apakah yang mereka lakukan adalah kritik membangun atau hanya sekadar bacot digital?
Dari Aktivisme ke Agresivitas Digital
Generasi Z kini dikenal sebagai generasi paling vokal dalam menanggapi isu-isu sosial, politik, hingga budaya pop. Di satu sisi, hal ini menunjukkan kepedulian tinggi terhadap kondisi sosial. Namun di sisi lain, banyak pihak mulai mengkhawatirkan arah komunikasi mereka yang cenderung reaktif, kasar, bahkan cenderung memicu konflik.
Menurut The Conversation Indonesia (2022), meskipun Gen Z tergolong cepat dalam mengakses dan menyerap informasi digital, mereka masih sering kesulitan membedakan mana informasi yang valid dan mana yang menyesatkan. “Sebagian besar dari mereka hanya membaca judul dan tidak memverifikasi kebenaran informasi,” tulis The Conversation. Akibatnya, kritik yang dilontarkan sering kali bersandar pada asumsi, bukan analisis.
Banjir Komentar, Minim Substansi?
Fenomena "komentar sebagai bentuk eksistensi" menjadi tren baru. Bukan isi yang jadi tujuan, melainkan sensasi dan validasi dari jumlah like serta retweet. Dalam laporan UNIKOM (2023), dijelaskan bahwa gaya komunikasi Gen Z di media sosial banyak dipengaruhi oleh kebutuhan untuk membangun identitas digital, bukan sekadar menyampaikan pesan. “Media sosial bukan hanya menjadi saluran informasi, tapi juga cerminan eksistensi diri bagi Gen Z,” tulisnya.
Kondisi ini diperparah dengan budaya "cancel", "expose", dan "blast" yang semakin menjadi-jadi. Kritik sering kali melebur dengan ujaran kebencian dan doxing. Maka tak heran, sebagian masyarakat mulai melihat kritik Gen Z bukan sebagai wacana alternatif, tapi sebagai ancaman baru dalam komunikasi publik.
Membangun Budaya Kritik yang Beretika
Meski demikian, tak dapat dipungkiri bahwa Gen Z menyimpan potensi besar sebagai agen perubahan. BBC Indonesia (2019) mencatat bahwa “Generasi Z memanfaatkan media sosial untuk mengorganisasi aksi, menyuarakan ketidakadilan, dan memobilisasi dukungan secara cepat dan efektif.” Inilah kekuatan utama mereka: digital savvy yang mampu menggerakkan opini massa hanya lewat satu utas Twitter atau satu video TikTok berdurasi 60 detik.
Agar kekuatan ini tidak sia-sia, perlu ada pendidikan komunikasi yang menekankan literasi digital, etika berbicara, dan logika berpendapat. Universitas Indonesia (2023) bahkan menyebut bahwa pendampingan terhadap Gen Z sangat dibutuhkan agar mereka mampu masuk ke "ranah budaya digital" yang sehat dan produktif. Tanpa itu, komunikasi akan terus terjebak dalam lingkaran viralitas tanpa substansi.
Konklusi
Bacot atau Kritik? Pilihan Ada di Ujung Jari
Pada akhirnya, Gen Z punya dua jalan: menjadi generasi pembising yang kehilangan arah atau menjadi generasi pengkritik yang menggugah kesadaran publik. Komentar mereka memang bisa mengguncang tatanan, tapi juga bisa merusak reputasi siapa pun dalam hitungan detik. Di era di mana jempol bisa lebih tajam dari peluru, pertanyaannya bukan lagi siapa yang paling lantang, tapi siapa yang paling bertanggung jawab atas apa yang dia ucapkan.
Sumber referensi
· The Conversation Indonesia. (2022). Digital 'native' atau 'naive'? Generasi Z di Indonesia cenderung percaya info dari pemerintah, tapi kesulitan mendeteksi hoaks.
· UNIKOM. (2023). Generasi Z dan Media Sosial: Gaya Komunikasi dan Identitas Digital.
https://web.unikom.ac.id/generasi-z-dan-media-sosial-gaya-komunikasi-dan-identitas-digital
· BBC Indonesia. (2019). Influencer dan buzzer: Bagaimana Generasi Z memakai media sosial untuk gerakan sosial dan politik.
· Universitas Indonesia. (2023). Generasi Z Cepat Menyerap Keterampilan Digital, Namun Perlu Didampingi Guna Capai Ranah Budaya Digital.
https://www.ui.ac.id/generasi-z-cepat-menyerap-keterampilan-digital-namun-sangat-perlu-didampingi-guna-capai-ranah-budaya-digital
