Showing posts with label Artikel Strategi Komunikasi. Show all posts
Showing posts with label Artikel Strategi Komunikasi. Show all posts

Wednesday, May 7, 2025

DIGITAL NATIVE, DIGITAL NOISE (Membangun Komunikasi Berkualitas di Kalangan Gen Z)

 Oleh Krishna Leander


Generasi Z—kelompok yang lahir antara tahun 1997 hingga 2012—merupakan generasi pertama yang tumbuh sepenuhnya di tengah kemajuan teknologi digital. Kerap disebut sebagai digital natives, mereka terbiasa menggunakan berbagai perangkat digital sejak usia dini. Komunikasi melalui media sosial, aplikasi pesan instan, dan platform digital lainnya sudah menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan mereka. Namun, di balik kemudahan dan kecepatan komunikasi digital tersebut, tersembunyi tantangan serius: distraksi digital. Gangguan yang muncul dari notifikasi terus-menerus, konten yang berlimpah, dan kebiasaan multitasking telah menciptakan digital noise yang dapat menghambat komunikasi yang fokus dan bermakna.

 

Distraksi Digital dan Dampaknya terhadap Komunikasi Gen Z

 

Distraksi digital mengacu pada gangguan yang berasal dari penggunaan teknologi yang berlebihan dan tidak terkelola, sehingga menurunkan kualitas perhatian, interaksi sosial, serta empati dalam komunikasi. Dalam konteks Generasi Z, hal ini menjadi semakin krusial karena kehidupan mereka begitu terikat dengan layar digital. Menurut Anggraini, Malik, dan Trikanti (2023), distraksi digital secara signifikan memengaruhi kualitas komunikasi interpersonal Gen Z. Mereka menjelaskan bahwa:

“Konsep Joy of Missing Out (JOMO) memungkinkan Generasi Z untuk mengurangi gangguan digital, membangun keterhubungan emosional yang lebih dalam, serta memperkuat kualitas komunikasi interpersonal.” (Anggraini et al., 2023, Universitas Gunadarma)

Gangguan yang tampaknya sepele seperti mengecek notifikasi saat berbicara atau tergoda oleh aliran konten media sosial, ternyata mampu merusak keutuhan pesan dan makna dalam percakapan. Dalam jangka panjang, hal ini dapat mengikis keterampilan komunikasi tatap muka dan kepekaan emosional.

 

Self-Determination Theory

 

Untuk memahami akar dari perilaku komunikasi digital Gen Z, relevan untuk menggunakan Self-Determination Theory (SDT) yang dikembangkan oleh Edward L. Deci dan Richard M. Ryan (1985). Teori ini menekankan bahwa manusia memiliki tiga kebutuhan psikologis dasar: otonomi, kompetensi, dan keterhubungan (relatedness). Komunikasi yang sehat dan bermakna terjadi ketika individu mampu memenuhi ketiga kebutuhan ini secara seimbang. Dalam konteks Gen Z, motivasi intrinsik untuk membangun relasi autentik sering kali teralihkan oleh stimulus eksternal dari dunia digital. Ketika komunikasi lebih didorong oleh likesfollowers, atau validasi digital, kebutuhan akan keterhubungan yang tulus menjadi sulit terpenuhi.

 

Strategi Membangun Komunikasi yang Bermakna

 

·      Meningkatkan Literasi Digital

Gen Z perlu dibekali dengan pemahaman mendalam tentang etika dan dampak penggunaan teknologi. Pendidikan literasi digital yang menyentuh aspek emosional, sosial, dan kognitif sangat diperlukan agar mereka mampu mengelola teknologi secara bijak. Menurut MTsN 8 Sleman (2024):

“Pemahaman digital yang memadai bukan hanya mencakup kemampuan teknis, tetapi juga kesadaran akan implikasi sosial dan psikologis dari interaksi daring.”

 

·      Mengadopsi Praktik Mindfulness dalam Komunikasi

Mindfulness atau kesadaran penuh membantu individu untuk hadir sepenuhnya dalam percakapan. Dengan latihan sederhana seperti mematikan notifikasi saat berbincang atau menyediakan waktu khusus tanpa gawai, Gen Z dapat meningkatkan kualitas perhatian dan empati.

 

·      Mengimplementasikan Konsep Joy of Missing Out (JOMO)

Berbeda dari Fear of Missing Out (FOMO), JOMO mendorong individu untuk menikmati momen tanpa keterikatan digital yang berlebihan. Dengan menyeleksi informasi dan aktivitas digital secara sadar, Gen Z dapat menciptakan ruang bagi komunikasi yang lebih reflektif dan mendalam.

 

Konklusi

 

Dalam era yang serba digital, Generasi Z menghadapi tantangan besar dalam mempertahankan kualitas komunikasi yang bermakna. Distraksi digital telah menjadi bagian dari keseharian mereka, namun bukan tanpa solusi. Dengan pendekatan yang tepat seperti peningkatan literasi digital, penerapan mindfulness, dan penghayatan nilai JOMO, Gen Z dapat membangun komunikasi yang tidak hanya efektif, tetapi juga autentik dan penuh makna. Masa depan komunikasi bukan hanya soal kecepatan, tetapi juga kedalaman. Maka, membekali generasi muda dengan keterampilan untuk memilah dan menyaring digital noise adalah langkah strategis untuk menciptakan ekosistem komunikasi yang sehat dan manusiawi.

 

Sumber Referensi

 

·      Anggraini, D. J., Malik, L. A., & Trikanti. (2023). Pengaruh Joy of Missing Out (JOMO) terhadap Kualitas Komunikasi Interpersonal Generasi Z di Era Digital. Fakultas Psikologi, Universitas Gunadarma.
https://jurnal.akmrtv.ac.id/jk/article/download/376/230/826

·      Deci, E. L., & Ryan, R. M. (1985). Intrinsic Motivation and Self-Determination in Human Behavior. New York: Springer.

·      MTsN 8 Sleman. (2024). Pengaruh Teknologi Digital terhadap Motivasi Belajar Generasi Z.
https://mtsn8sleman.sch.id/blog/pengaruh-teknologi-digital-terhadap-motivasi-belajar-generasi-z

 

Sunday, April 27, 2025

Tantangan Komunikasi di Era Hyperconnectivity (Ketika Komunikasi Kilat Membunuh Pemahaman)



Oleh. Krishna Leander

Tahun 2025 menjadi saksi percepatan luar biasa dalam dunia komunikasi, didorong oleh perkembangan teknologi seperti 5G, Internet of Things (IoT), dan kecerdasan buatan (AI). Era ini sering disebut sebagai era hyperconnectivity suatu kondisi ketika manusia, perangkat, dan sistem saling terhubung hampir tanpa jeda. Di tengah kecepatan ini, justru muncul tantangan besar, ketidakpahaman, misinterpretasi pesan, dan fragmentasi sosial. Menurut Manuel Castells (2000) dalam The Rise of the Network Society, "jaringan informasi global menciptakan masyarakat yang bergerak cepat, namun juga membawa risiko eksklusi sosial dan miskomunikasi." Pernyataan ini menjadi semakin relevan di tahun 2025, ketika kecepatan komunikasi tidak selalu sejalan dengan kedalaman pemahaman.

Salah satu teori yang dapat digunakan untuk menganalisis fenomena ini adalah Teori Media Richness (Daft & Lengel, 1986). Teori ini menyatakan bahwa efektivitas komunikasi bergantung pada kemampuan media dalam menyampaikan informasi yang ambigu atau kompleks. Media kaya (seperti komunikasi tatap muka) lebih efektif untuk pesan kompleks, sedangkan media miskin (seperti pesan teks) kurang efektif. Daft dan Lengel menyatakan, "A rich medium is able to handle multiple information cues simultaneously, facilitate rapid feedback, and establish a personal focus" (Daft & Lengel, 1986). Dengan maraknya komunikasi berbasis teks cepat dan otomatisasi di 2025, banyak media komunikasi justru tergolong "poor media," sehingga rentan menimbulkan ketidakpahaman.

Tantangan Komunikasi di Era Hyperconnectivity

Pertama, Overload Informasi.

Volume pesan yang diterima individu dalam sehari meningkat drastis. Menurut laporan dari World Economic Forum (2024), rata-rata orang menerima sekitar 74 gigabyte data per hari di tahun 2025. WEF menyebutkan, "In a hyperconnected world, the risk is not access to information, but being drowned by it" (World Economic Forum, 2024). Terlalu banyak informasi membuat individu sulit memproses pesan secara kritis, menyebabkan distorsi makna dan miskomunikasi.

Kedua, Reduksi Konteks

Komunikasi cepat melalui chat, email singkat, dan otomatisasi pesan sering menghilangkan konteks emosional. Hal ini sejalan dengan konsep Media Synchronicity Theory (Dennis et al., 2008), yang menekankan pentingnya kesesuaian antara media komunikasi dan kebutuhan tugas. Dennis et al. menjelaskan, "The richness and immediacy of communication media must match the complexity and ambiguity of the task at hand to be effective" (Dennis, Fuller, & Valacich, 2008). Ketidakcocokan ini sering menyebabkan salah tafsir, terutama dalam komunikasi lintas budaya.

Ketiga, Trust Deficit

Meningkatnya penggunaan AI dalam komunikasi, seperti chatbot dan voicebot, memperbesar tantangan kepercayaan. Menurut penelitian Edelman Trust Barometer 2025, hanya 48% masyarakat global yang mempercayai pesan yang dikirimkan melalui sistem otomatis. Edelman menyatakan, "In an era where communication is often mediated by algorithms, the human element of trust becomes more fragile and elusive" (Edelman Trust Barometer, 2025). Kurangnya kepercayaan memperparah ketidakpahaman dalam komunikasi.

Implikasi Sosial dan Organisasi

Bagi dunia bisnis dan organisasi, tantangan komunikasi ini dapat berdampak pada menurunnya efektivitas kerja sama tim, meningkatnya konflik internal, serta memburuknya hubungan dengan pelanggan. Di tingkat sosial, hyperconnectivity mendorong polarisasi opini dan menguatkan bias konfirmasi, mempersempit ruang untuk dialog terbuka.

Solusi dan Rekomendasi

· Meningkatkan Literasi Digital. Individu perlu dilatih untuk memilah, memahami, dan menanggapi informasi secara kritis.

· Memilih Media yang Sesuai. Gunakan media komunikasi yang kaya (seperti video call atau pertemuan langsung) untuk menyampaikan pesan yang kompleks.

· Membangun Budaya Komunikasi Terbuka. Organisasi perlu mendorong keterbukaan, umpan balik, dan memperkuat kepercayaan di tengah penggunaan teknologi otomatis.

· Mengintegrasikan Unsur Kemanusiaan dalam Teknologi. Pengembangan AI komunikasi harus mempertimbangkan aspek empati, etika, dan transparansi.

Konklusi

Era hyperconnectivity di 2025 menawarkan peluang besar dalam mempercepat pertukaran informasi, tetapi juga membawa tantangan serius berupa ketidakpahaman dan miskomunikasi. Teori Media Richness dan Media Synchronicity menunjukkan pentingnya memilih media yang sesuai untuk menjaga keefektifan komunikasi. Ke depan, hanya dengan pendekatan yang kritis, etis, dan manusiawi, kita bisa mengatasi paradoks komunikasi di era super-cepat ini.

Sumber. Referensi

· Castells, M. (2000). The Rise of the Network Society (2nd ed.). Oxford: Blackwell Publishers.

· Daft, R. L., & Lengel, R. H. (1986). Organizational Information Requirements, Media Richness and Structural Design. Management Science, 32(5), 554-571. https://doi.org/10.1287/mnsc.32.5.554

· Dennis, A. R., Fuller, R. M., & Valacich, J. S. (2008). Media, Tasks, and Communication Processes: A Theory of Media Synchronicity. MIS Quarterly, 32(3), 575–600. https://doi.org/10.2307/25148857

· World Economic Forum. (2024). The Hyperconnected Future Report 2024. Retrieved from https://www.weforum.org

· Edelman. (2025). Edelman Trust Barometer 2025. Retrieved from https://www.edelman.com/trust



Friday, April 25, 2025

FOMO Digital (Ketika Gen Z Harus Offline Demi Tetap Waras)



Oleh. Krishna Leander

Pergerakan arus era digital yang begitu cepat serta nyaris tanpa jeda, Generasi Z tumbuh dalam atmosfer yang menuntut keterhubungan konstan. Media sosial menjadi panggung utama tempat segala aktivitas, pencapaian, hingga momen keseharian dipertontonkan. Dalam pusaran informasi ini, muncul satu fenomena psikologis yang semakin membayangi keseharian mereka: FOMO (Fear of Missing Out).

FOMO adalah rasa cemas yang muncul ketika seseorang merasa tertinggal atau tidak terlibat dalam pengalaman yang dinikmati oleh orang lain, terutama yang terlihat di media sosial. Menurut Royantara dkk. (2025), “FOMO terbukti memiliki korelasi positif dengan peningkatan tingkat kecemasan di kalangan Gen Z, terutama akibat tekanan untuk terus mengikuti dinamika sosial digital yang begitu cepat.” (Laaroiba Journal, 2025)

Ketika Media Sosial Menggerus Kesehatan Mental

Kehadiran media sosial yang seharusnya menjadi alat komunikasi, perlahan bergeser menjadi sumber tekanan psikologis. Bukan hanya tentang ketinggalan informasi, namun juga rasa tidak cukup, tidak relevan, bahkan merasa kehilangan identitas diri. Laporan Tempo (2022) menunjukkan bahwa 60% remaja merasa cemas ketika mengetahui teman-teman mereka berkegiatan tanpa keikutsertaan mereka, dan 51% lainnya merasa tertekan hanya karena tidak mengetahui aktivitas terbaru dari lingkaran sosial mereka. “FOMO menumbuhkan rasa takut tak terlihat, tak relevan, dan terlupakan di tengah dunia yang sangat cepat mengalir.” (Tempo, 2022). Tak hanya mengganggu mental, FOMO juga terbukti berdampak pada aspek ekonomi Gen Z. Dalam riset yang dilakukan Yulianto dkk. (2025), ditemukan bahwa tekanan untuk tampil “up to date” secara visual dan gaya hidup membuat sebagian besar responden rela berutang demi memenuhi standar sosial yang mereka lihat di media digital. “FOMO dalam konteks finansial mendorong perilaku konsumtif berlebihan yang mengancam kestabilan ekonomi pribadi Gen Z.” (JUBIKIN, 2025)

Tren Digital dan Mentalitas Konsumtif

Tren yang dibentuk oleh algoritma media sosial membuat Gen Z terjebak dalam siklus pembandingan tanpa akhir. Terlihat keren, update gadget, tampil fashionable—semuanya menjadi semacam kewajiban tak tertulis demi validasi sosial. Website Fakultas Bimbingan dan Konseling UMSIDA menyoroti bahwa:

“FOMO menciptakan dorongan psikologis untuk terus mengikuti tren, bahkan jika itu mengorbankan kebutuhan mendasar atau keamanan finansial.”
(fbhis.umsida.ac.id, 2025)

Keseimbangan Digital (Momen untuk Berhenti)

Namun, kesadaran akan bahaya FOMO perlahan mulai tumbuh. Istilah digital detox bukan sekadar tren, tapi menjadi kebutuhan. Banyak Gen Z kini mulai mengambil langkah mundur: mematikan notifikasi, menjauh dari layar, dan kembali membangun koneksi di dunia nyata.

Laporan Manado Post (2024) menunjukkan bahwa semakin banyak anak muda yang secara sadar meluangkan waktu tanpa media sosial demi menjaga kewarasan mental. “Digital detox menjadi jalan untuk kembali menemukan diri sendiri yang tenggelam dalam banjir informasi dan tekanan sosial maya.”
(ManadoPost, 2024). Langkah ini juga ditandai dengan meningkatnya komunitas berbasis offline, minat terhadap journaling, meditasi, hingga gerakan minimalisme digital yang semuanya berangkat dari keinginan untuk menyeimbangkan kehidupan virtual dan nyata.

Menyusun Narasi Baru (Offline sebagai Pilihan Sadar)

Fenomena FOMO digital bukan sekadar tren psikologis, tetapi sinyal bahwa Generasi Z berada di persimpangan antara konektivitas dan keutuhan diri. Dalam dunia yang terus mendesak mereka untuk selalu online, pilihan untuk sesekali offline menjadi bentuk keberanian yang menyehatkan. Bukan tentang menghilang, tapi tentang hadir secara penuh di kehidupan nyata.

Menyadari bahwa apa yang terlihat di layar bukanlah kebenaran utuh adalah langkah awal untuk melindungi kesehatan mental. Dalam dunia yang memuja keterhubungan, menjaga jarak menjadi bentuk cinta diri yang paling penting. Seperti dikatakan oleh Brene Brown,“Staying vulnerable is a risk we have to take if we want to experience connection.”


Sumber Referensi


· Royantara, M. O., et al. (2025). Peran FOMO dalam Meningkatkan Kecemasan Terhadap Media Sosial pada Generasi Z. EduInovasi: Journal of Basic Educational Studies. Laaroiba Journal

· Yulianto, M. D., et al. (2025). Pengaruh Fear Of Missing Out (FOMO) Di Media Sosial Terhadap Kesehatan Keuangan Generasi Z. JUBIKIN. ejournal.arimbi.or.id

· Tempo. (2022). FOMO, Bahaya Gaya Hidup yang Rentan Dialami Generasi Z. Tempo

· Fakultas BK UMSIDA. (2025). Fenomena FOMO: Apakah Gen Z Takut Ketinggalan? fbhis.umsida.ac.id

· Manado Post. (2024). Fenomena FOMO dan Dampaknya terhadap Kesehatan Mental Gen Z. ManadoPost

Sunday, April 13, 2025

Tantangan atau Peluang? (Strategi Komunikasi Gen Z Menaklukkan Dunia Kerja di Era Teknologi 5.0)




Oleh. Krishna Leander

 Dunia kerja kini mengalami transformasi besar. Kompetisi tak lagi terbatas di ruang kantor fisik, melainkan meluas hingga ke ruang-ruang digital yang serba cepat dan dinamis. Di tengah arus perubahan ini, hadir Generasi Z generasi yang lahir dan tumbuh bersama teknologi digital, sering disebut sebagai generasi paling “melek digital.” Namun, di balik keunggulan mereka dalam mengakses informasi dan menguasai platform digital, muncul pertanyaan krusial: Apakah Gen Z benar-benar siap secara komunikasi untuk menghadapi tantangan dunia kerja di era teknologi 5.0?

  Era teknologi 5.0 menandai fase baru dalam revolusi digital. Lebih dari sekadar automasi dan kecerdasan buatan, era ini menekankan pada kolaborasi manusia dengan teknologi, di mana manusia tetap menjadi pusat pengambilan keputusan dan inovasi. Di sinilah peran komunikasi menjadi sangat penting bukan hanya untuk menyampaikan informasi, tetapi juga membangun relasi, memahami perbedaan perspektif, dan menciptakan kolaborasi yang bermakna.

  Sayangnya, sejumlah laporan dari dunia kerja menunjukkan bahwa meski Gen Z unggul dalam hal teknis seperti coding, editing video, hingga membuat konten viral, mereka justru sering mengalami kesulitan dalam komunikasi profesional, terutama dalam kerja tim lintas generasi. Banyak pimpinan perusahaan menilai Gen Z belum mampu menyesuaikan diri dengan ekspektasi komunikasi yang berlaku di dunia kerja, yang menuntut kejelasan, ketepatan, serta sensitivitas terhadap situasi sosial dan budaya organisasi.

  Sebagai contoh, dalam sebuah proses rekrutmen di sebuah startup teknologi di Jakarta, dari 100 pelamar Gen Z yang memiliki portofolio cemerlang, hanya 15 orang yang berhasil lolos ke tahap akhir. Menurut Maria Sari, HRD TechnoGo Indonesia, “Banyak dari mereka tidak bisa menyampaikan ide dengan runtut saat wawancara. Mereka tampak gugup, kurang percaya diri, dan tidak siap berkomunikasi di luar platform digital” (Kompas.com, 2023). Hal ini menunjukkan adanya kesenjangan antara kecakapan teknis dan kemampuan komunikasi nyata di dunia kerja.

  Untuk menjawab tantangan tersebut, diperlukan strategi komunikasi yang bukan hanya bersifat praktis, tetapi juga berlandaskan teori komunikasi yang kredibel. Berikut ini beberapa teori yang relevan dan aplikatif untuk membantu Gen Z beradaptasi secara komunikatif di era teknologi 5.0:

1. Teori Komunikasi Interpersonal – Joseph DeVito

DeVito menekankan bahwa komunikasi yang efektif bukan hanya tentang menyampaikan pesan, tetapi juga mendengarkan secara aktif, menunjukkan empati, dan membangun hubungan yang bermakna. Gen Z perlu memperkuat kemampuan membaca situasi sosial, terutama saat berinteraksi dengan rekan atau atasan dari generasi yang berbeda.

“Komunikasi yang efektif bukan hanya soal bicara, tapi juga soal memahami orang lain secara aktif dan mendalam.”
(DeVito, 2013)

2. Teori Media Richness – Daft & Lengel

Teori ini menyoroti pentingnya memilih media komunikasi yang sesuai dengan kompleksitas pesan. Gen Z, yang terbiasa dengan pesan instan dan singkat, perlu memahami bahwa diskusi evaluasi kerja atau penyampaian kritik sebaiknya dilakukan melalui media yang lebih “kaya”, seperti video call atau pertemuan langsung.

“Semakin kompleks pesan, semakin kaya media yang dibutuhkan untuk menyampaikan pesan tersebut secara efektif.”
(Daft & Lengel, 1986)

3. Teori Komunikasi Organisasi – Katz & Kahn

Dalam lingkungan kerja, komunikasi memiliki struktur, norma, dan aturan tertentu. Gen Z perlu menyadari bahwa budaya organisasi memengaruhi cara komunikasi berlangsung. Memahami struktur tersebut akan memudahkan mereka untuk menyesuaikan diri dan membangun kepercayaan.

“Tanpa komunikasi, tidak akan ada organisasi.”
(Katz & Kahn, 1978)

4. Teori Personal Branding – Montoya & Vandehey

Komunikasi di era digital tidak hanya terjadi secara tatap muka, tetapi juga melalui jejak digital. Gen Z perlu memahami pentingnya membangun personal branding yang kuat dan positif di media sosial atau platform profesional seperti LinkedIn.

“Personal branding adalah tentang bagaimana kita menyampaikan keunikan dan relevansi diri kepada dunia.”
(Montoya & Vandehey, 2002)

Strategi Komunikasi Adaptif untuk Gen Z
Agar dapat menjawab tantangan komunikasi di dunia kerja, Gen Z perlu menerapkan strategi konkret yang sesuai dengan konteks era digital-humanistik saat ini. Beberapa di antaranya:
  • Latih komunikasi tatap muka secara rutin
  • Aktiflah dalam klub debat, organisasi mahasiswa, atau menjadi moderator diskusi. Ini melatih keberanian dan ketajaman berpikir spontan.
  • Kelola media sosial secara profesional
  • Manfaatkan Instagram dan LinkedIn sebagai etalase pencapaian dan keahlian, bukan hanya untuk gaya hidup pribadi.
  • Kembangkan kecerdasan emosional (Emotional Intelligence)
  • Kemampuan membaca emosi dan memahami perspektif orang lain sangat krusial untuk membangun komunikasi yang efektif dan empatik.
  • Adaptif terhadap gaya komunikasi lintas konteks
  • Fleksibilitas adalah kunci: tahu kapan harus formal, kapan cukup santai, dan kapan harus diam untuk mendengarkan.
Konklusi

  Dunia kerja di era teknologi 5.0 menuntut lebih dari sekadar kecakapan teknis. Kecakapan komunikasi yang adaptif, empatik, dan strategis menjadi fondasi penting untuk bertahan dan berkembang. Bagi Gen Z, komunikasi bukan hanya alat untuk bertukar informasi, melainkan senjata untuk menunjukkan nilai diri, membangun relasi profesional, dan beradaptasi dalam perubahan. Lalu, apakah era ini merupakan tantangan atau peluang bagi Gen Z?.  Jawabannya terletak pada strategi komunikasi yang mereka pilih. Jika dikelola dengan tepat, bukan tidak mungkin Generasi Z justru akan menjadi pelopor perubahan dan inovasi besar dalam dunia kerja masa depan.

Sumber Referensi
  • DeVito, J. A. (2013). The Interpersonal Communication Book. Pearson.
  • Daft, R. L., & Lengel, R. H. (1986). Organizational Information Requirements, Media Richness and Structural Design. Management Science, 32(5), 554–571.
  • Katz, D., & Kahn, R. L. (1978). The Social Psychology of Organizations. Wiley.
  • Montoya, P., & Vandehey, T. (2002). The Brand Called You: Make Your Business Stand Out in a Crowded Marketplace. McGraw-Hill.
  • Kompas.com. (2023). HRD Ungkap Gen Z Banyak Gagal Wawancara Karena Minim Komunikasi. Retrieved from https://www.kompas.com


Thursday, April 10, 2025

MENEROBOS SEKAT GENERASI (Strategi Komunikasi Efektif untuk Gen Z dan Gen Alpha di Era Digital)

 



Oleh. Krishna Leander

    Di tengah derasnya arus digitalisasi, dunia komunikasi mengalami transformasi fundamental. Komunikasi kini tak lagi hanya soal menyampaikan pesan, tetapi tentang bagaimana pesan itu dirancang, disampaikan, dan dipahami dalam lanskap yang dipenuhi perbedaan latar generasi. Generasi Z (lahir antara 1997–2012) dan Generasi Alpha (lahir setelah 2013) menjadi representasi generasi digital murni tumbuh dengan gawai di tangan, algoritma yang mempersonalisasi informasi, serta ruang interaksi sosial yang dibentuk oleh media digital, bukan lagi ruang fisik. Kondisi ini menghadirkan tantangan serius dalam komunikasi lintas generasi, khususnya dalam lingkungan keluarga, pendidikan, dan dunia kerja. Ketika gaya komunikasi para pendidik, pemimpin organisasi, atau bahkan orang tua tidak selaras dengan karakter komunikasi generasi muda, yang terjadi bukan hanya miskomunikasi, tapi juga konflik nilai dan penurunan produktivitas relasi. 

    Menurut Jean M. Twenge (2017), “Generasi Z lebih nyaman mengekspresikan diri melalui emoji dan gambar ketimbang bahasa verbal panjang seperti generasi sebelumnya.” Mereka cenderung menghindari komunikasi yang bertele-tele dan lebih memilih bentuk komunikasi yang langsung, visual, dan mudah diakses. Hal ini menjadi sinyal penting bahwa komunikasi yang efektif bukan sekadar apa yang dikatakan, tetapi bagaimana dan melalui apa itu disampaikan. Sementara itu, Generasi Alpha menunjukkan keterikatan yang lebih mendalam terhadap dunia digital. McCrindle (2020) menekankan bahwa, “Anak-anak Generasi Alpha akan menjadi generasi paling berteknologi dalam sejarah, di mana kecerdasan buatan, realitas virtual, dan asisten digital menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari mereka.” Generasi ini cenderung belajar lebih cepat melalui aplikasi interaktif, game edukatif, dan konten visual dinamis. Mereka tidak hanya menerima informasi, tapi ingin menjadi bagian dari pembuatannya.

    Fenomena ini menuntut perubahan pendekatan dalam strategi komunikasi. Dalam dunia pendidikan, guru tidak bisa lagi mengandalkan metode konvensional satu arah. Mereka perlu mengintegrasikan media pembelajaran interaktif, storytelling visual, dan pendekatan yang berbasis pada pengalaman digital siswa. Dalam dunia kerja, pemimpin organisasi dituntut untuk membangun kultur komunikasi yang partisipatif, transparan, dan cepat. Seperti disampaikan oleh Seemiller dan Grace (2016), “Gen Z values communication that is authentic, transparent, and participatory. They expect to be heard and to have influence.”

Beberapa strategi yang dapat diterapkan untuk menjembatani kesenjangan ini antara lain:

1. Penggunaan Media Komunikasi yang Relevan 
    Pilih media yang sesuai dengan kebiasaan digital Gen Z dan Alpha. Misalnya, gunakan platform seperti             YouTube, TikTok, atau Discord untuk komunikasi informal, dan Google Classroom atau Notion untuk             pembelajaran formal. Format pesan sebaiknya dibuat singkat, visual, dan mudah dibagikan.

2. Kecepatan dan Ketepatan dalam Respons
    Generasi ini terbiasa dengan kecepatan. Respons lambat sering dianggap sebagai bentuk                                 ketidaktertarikan. Oleh karena itu, penting membangun sistem komunikasi yang real-time, responsif,             dan bisa diakses lintas perangkat.

3. Keterlibatan dan Inklusivitas
    Libatkan mereka dalam proses komunikasi. Ajukan pertanyaan, minta pendapat, dan berikan ruang                 untuk berkontribusi. Komunikasi dua arah adalah bentuk pengakuan terhadap eksistensi mereka dalam             proses sosial.

4. Otentisitas dan Kejujuran
    Generasi Z dan Alpha sangat peka terhadap komunikasi yang manipulatif atau tidak tulus. Gunakan                 bahasa yang jujur, apa adanya, dan jangan terlalu formal bila tidak perlu. Mereka menghargai keaslian             lebih dari profesionalitas yang kaku.

5. Peningkatan Literasi Komunikasi Digital Lintas Generasi
    Para orang tua, guru, dan pemimpin generasi sebelumnya juga perlu naik kelas dalam hal literasi digital.         Pemahaman terhadap platform, algoritma, dan budaya digital penting untuk membangun komunikasi             yang saling memahami dan mendukung.

    Di masa depan, keberhasilan komunikasi bukan ditentukan oleh senioritas atau jabatan, tetapi oleh kemampuan beradaptasi terhadap dinamika budaya komunikasi yang terus berubah. Maka, memahami karakter komunikasi Gen Z dan Alpha bukan sekadar strategi teknis, tetapi juga komitmen moral untuk menjembatani generasi demi kemajuan bersama.

Sumber Referensi

· Twenge, J. M. (2017). iGen: Why Today’s Super-Connected Kids Are Growing Up Less Rebellious, More Tolerant, Less Happy—and Completely Unprepared for Adulthood. New York: Atria Books.

· McCrindle, M., & Fell, A. (2020). Generation Alpha: Understanding Our Children and Helping Them Thrive. Sydney: McCrindle Research.

· Seemiller, C., & Grace, M. (2016). Generation Z Goes to College. San Francisco: Jossey-Bass.

· Takaza, A. (2023). Strategi Penguatan Kinerja Generasi Z dalam Menghadapi Indonesia Emas 2045. Diakses dari: https://repository.takaza.id/181/1/E%20Book%20Strategi%20Penguatan%20Kinerja%20Generasi%20Z% 20dalam%20Menghadapi%20Indonesia%20Emas%202045.pdf

· Universitas Bina Nusantara. (2025). Mengenal Generasi Manusia Menurut McCrindle dan Hubungannya dengan AI. Diakses dari:
https://pgsd.binus.ac.id/2025/02/20/mengenal-generasi-manusia-menurut-mccrindle-dan-hubungannya- dengan-ai

DIGITAL NATIVE, DIGITAL NOISE (Membangun Komunikasi Berkualitas di Kalangan Gen Z)

  Oleh Krishna Leander Generasi Z—kelompok yang lahir antara tahun 1997 hingga 2012—merupakan generasi pertama yang tumbuh sepenuhnya di ten...