Wednesday, May 7, 2025

DIGITAL NATIVE, DIGITAL NOISE (Membangun Komunikasi Berkualitas di Kalangan Gen Z)

 Oleh Krishna Leander


Generasi Z—kelompok yang lahir antara tahun 1997 hingga 2012—merupakan generasi pertama yang tumbuh sepenuhnya di tengah kemajuan teknologi digital. Kerap disebut sebagai digital natives, mereka terbiasa menggunakan berbagai perangkat digital sejak usia dini. Komunikasi melalui media sosial, aplikasi pesan instan, dan platform digital lainnya sudah menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan mereka. Namun, di balik kemudahan dan kecepatan komunikasi digital tersebut, tersembunyi tantangan serius: distraksi digital. Gangguan yang muncul dari notifikasi terus-menerus, konten yang berlimpah, dan kebiasaan multitasking telah menciptakan digital noise yang dapat menghambat komunikasi yang fokus dan bermakna.

 

Distraksi Digital dan Dampaknya terhadap Komunikasi Gen Z

 

Distraksi digital mengacu pada gangguan yang berasal dari penggunaan teknologi yang berlebihan dan tidak terkelola, sehingga menurunkan kualitas perhatian, interaksi sosial, serta empati dalam komunikasi. Dalam konteks Generasi Z, hal ini menjadi semakin krusial karena kehidupan mereka begitu terikat dengan layar digital. Menurut Anggraini, Malik, dan Trikanti (2023), distraksi digital secara signifikan memengaruhi kualitas komunikasi interpersonal Gen Z. Mereka menjelaskan bahwa:

“Konsep Joy of Missing Out (JOMO) memungkinkan Generasi Z untuk mengurangi gangguan digital, membangun keterhubungan emosional yang lebih dalam, serta memperkuat kualitas komunikasi interpersonal.” (Anggraini et al., 2023, Universitas Gunadarma)

Gangguan yang tampaknya sepele seperti mengecek notifikasi saat berbicara atau tergoda oleh aliran konten media sosial, ternyata mampu merusak keutuhan pesan dan makna dalam percakapan. Dalam jangka panjang, hal ini dapat mengikis keterampilan komunikasi tatap muka dan kepekaan emosional.

 

Self-Determination Theory

 

Untuk memahami akar dari perilaku komunikasi digital Gen Z, relevan untuk menggunakan Self-Determination Theory (SDT) yang dikembangkan oleh Edward L. Deci dan Richard M. Ryan (1985). Teori ini menekankan bahwa manusia memiliki tiga kebutuhan psikologis dasar: otonomi, kompetensi, dan keterhubungan (relatedness). Komunikasi yang sehat dan bermakna terjadi ketika individu mampu memenuhi ketiga kebutuhan ini secara seimbang. Dalam konteks Gen Z, motivasi intrinsik untuk membangun relasi autentik sering kali teralihkan oleh stimulus eksternal dari dunia digital. Ketika komunikasi lebih didorong oleh likesfollowers, atau validasi digital, kebutuhan akan keterhubungan yang tulus menjadi sulit terpenuhi.

 

Strategi Membangun Komunikasi yang Bermakna

 

·      Meningkatkan Literasi Digital

Gen Z perlu dibekali dengan pemahaman mendalam tentang etika dan dampak penggunaan teknologi. Pendidikan literasi digital yang menyentuh aspek emosional, sosial, dan kognitif sangat diperlukan agar mereka mampu mengelola teknologi secara bijak. Menurut MTsN 8 Sleman (2024):

“Pemahaman digital yang memadai bukan hanya mencakup kemampuan teknis, tetapi juga kesadaran akan implikasi sosial dan psikologis dari interaksi daring.”

 

·      Mengadopsi Praktik Mindfulness dalam Komunikasi

Mindfulness atau kesadaran penuh membantu individu untuk hadir sepenuhnya dalam percakapan. Dengan latihan sederhana seperti mematikan notifikasi saat berbincang atau menyediakan waktu khusus tanpa gawai, Gen Z dapat meningkatkan kualitas perhatian dan empati.

 

·      Mengimplementasikan Konsep Joy of Missing Out (JOMO)

Berbeda dari Fear of Missing Out (FOMO), JOMO mendorong individu untuk menikmati momen tanpa keterikatan digital yang berlebihan. Dengan menyeleksi informasi dan aktivitas digital secara sadar, Gen Z dapat menciptakan ruang bagi komunikasi yang lebih reflektif dan mendalam.

 

Konklusi

 

Dalam era yang serba digital, Generasi Z menghadapi tantangan besar dalam mempertahankan kualitas komunikasi yang bermakna. Distraksi digital telah menjadi bagian dari keseharian mereka, namun bukan tanpa solusi. Dengan pendekatan yang tepat seperti peningkatan literasi digital, penerapan mindfulness, dan penghayatan nilai JOMO, Gen Z dapat membangun komunikasi yang tidak hanya efektif, tetapi juga autentik dan penuh makna. Masa depan komunikasi bukan hanya soal kecepatan, tetapi juga kedalaman. Maka, membekali generasi muda dengan keterampilan untuk memilah dan menyaring digital noise adalah langkah strategis untuk menciptakan ekosistem komunikasi yang sehat dan manusiawi.

 

Sumber Referensi

 

·      Anggraini, D. J., Malik, L. A., & Trikanti. (2023). Pengaruh Joy of Missing Out (JOMO) terhadap Kualitas Komunikasi Interpersonal Generasi Z di Era Digital. Fakultas Psikologi, Universitas Gunadarma.
https://jurnal.akmrtv.ac.id/jk/article/download/376/230/826

·      Deci, E. L., & Ryan, R. M. (1985). Intrinsic Motivation and Self-Determination in Human Behavior. New York: Springer.

·      MTsN 8 Sleman. (2024). Pengaruh Teknologi Digital terhadap Motivasi Belajar Generasi Z.
https://mtsn8sleman.sch.id/blog/pengaruh-teknologi-digital-terhadap-motivasi-belajar-generasi-z

 

DIGITAL NATIVE, DIGITAL NOISE (Membangun Komunikasi Berkualitas di Kalangan Gen Z)

  Oleh Krishna Leander Generasi Z—kelompok yang lahir antara tahun 1997 hingga 2012—merupakan generasi pertama yang tumbuh sepenuhnya di ten...