
Oleh. Krishna Leander
Di tengah derasnya arus digitalisasi, dunia komunikasi mengalami transformasi fundamental. Komunikasi kini tak lagi hanya soal menyampaikan pesan, tetapi tentang bagaimana pesan itu dirancang, disampaikan, dan dipahami dalam lanskap yang dipenuhi perbedaan latar generasi. Generasi Z (lahir antara 1997–2012) dan Generasi Alpha (lahir setelah 2013) menjadi representasi generasi digital murni tumbuh dengan gawai di tangan, algoritma yang mempersonalisasi informasi, serta ruang interaksi sosial yang dibentuk oleh media digital, bukan lagi ruang fisik. Kondisi ini menghadirkan tantangan serius dalam komunikasi lintas generasi, khususnya dalam lingkungan keluarga, pendidikan, dan dunia kerja. Ketika gaya komunikasi para pendidik, pemimpin organisasi, atau bahkan orang tua tidak selaras dengan karakter komunikasi generasi muda, yang terjadi bukan hanya miskomunikasi, tapi juga konflik nilai dan penurunan produktivitas relasi.
Menurut Jean M. Twenge (2017), “Generasi Z lebih nyaman mengekspresikan diri melalui emoji dan gambar ketimbang bahasa verbal panjang seperti generasi sebelumnya.” Mereka cenderung menghindari komunikasi yang bertele-tele dan lebih memilih bentuk komunikasi yang langsung, visual, dan mudah diakses. Hal ini menjadi sinyal penting bahwa komunikasi yang efektif bukan sekadar apa yang dikatakan, tetapi bagaimana dan melalui apa itu disampaikan. Sementara itu, Generasi Alpha menunjukkan keterikatan yang lebih mendalam terhadap dunia digital. McCrindle (2020) menekankan bahwa, “Anak-anak Generasi Alpha akan menjadi generasi paling berteknologi dalam sejarah, di mana kecerdasan buatan, realitas virtual, dan asisten digital menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari mereka.” Generasi ini cenderung belajar lebih cepat melalui aplikasi interaktif, game edukatif, dan konten visual dinamis. Mereka tidak hanya menerima informasi, tapi ingin menjadi bagian dari pembuatannya.
Fenomena ini menuntut perubahan pendekatan dalam strategi komunikasi. Dalam dunia pendidikan, guru tidak bisa lagi mengandalkan metode konvensional satu arah. Mereka perlu mengintegrasikan media pembelajaran interaktif, storytelling visual, dan pendekatan yang berbasis pada pengalaman digital siswa. Dalam dunia kerja, pemimpin organisasi dituntut untuk membangun kultur komunikasi yang partisipatif, transparan, dan cepat. Seperti disampaikan oleh Seemiller dan Grace (2016), “Gen Z values communication that is authentic, transparent, and participatory. They expect to be heard and to have influence.”
Beberapa strategi yang dapat diterapkan untuk menjembatani kesenjangan ini antara lain:
1. Penggunaan Media Komunikasi yang Relevan
Pilih media yang sesuai dengan kebiasaan digital Gen Z dan Alpha. Misalnya, gunakan platform seperti YouTube, TikTok, atau Discord untuk komunikasi informal, dan Google Classroom atau Notion untuk pembelajaran formal. Format pesan sebaiknya dibuat singkat, visual, dan mudah dibagikan.
2. Kecepatan dan Ketepatan dalam Respons
Generasi ini terbiasa dengan kecepatan. Respons lambat sering dianggap sebagai bentuk ketidaktertarikan. Oleh karena itu, penting membangun sistem komunikasi yang real-time, responsif, dan bisa diakses lintas perangkat.
3. Keterlibatan dan Inklusivitas
Libatkan mereka dalam proses komunikasi. Ajukan pertanyaan, minta pendapat, dan berikan ruang untuk berkontribusi. Komunikasi dua arah adalah bentuk pengakuan terhadap eksistensi mereka dalam proses sosial.
4. Otentisitas dan Kejujuran
Generasi Z dan Alpha sangat peka terhadap komunikasi yang manipulatif atau tidak tulus. Gunakan bahasa yang jujur, apa adanya, dan jangan terlalu formal bila tidak perlu. Mereka menghargai keaslian lebih dari profesionalitas yang kaku.
5. Peningkatan Literasi Komunikasi Digital Lintas Generasi
Para orang tua, guru, dan pemimpin generasi sebelumnya juga perlu naik kelas dalam hal literasi digital. Pemahaman terhadap platform, algoritma, dan budaya digital penting untuk membangun komunikasi yang saling memahami dan mendukung.
Di masa depan, keberhasilan komunikasi bukan ditentukan oleh senioritas atau jabatan, tetapi oleh kemampuan beradaptasi terhadap dinamika budaya komunikasi yang terus berubah. Maka, memahami karakter komunikasi Gen Z dan Alpha bukan sekadar strategi teknis, tetapi juga komitmen moral untuk menjembatani generasi demi kemajuan bersama.
Sumber Referensi
· Twenge, J. M. (2017). iGen: Why Today’s Super-Connected Kids Are Growing Up Less Rebellious, More Tolerant, Less Happy—and Completely Unprepared for Adulthood. New York: Atria Books.
· McCrindle, M., & Fell, A. (2020). Generation Alpha: Understanding Our Children and Helping Them Thrive. Sydney: McCrindle Research.
· Seemiller, C., & Grace, M. (2016). Generation Z Goes to College. San Francisco: Jossey-Bass.
· Takaza, A. (2023). Strategi Penguatan Kinerja Generasi Z dalam Menghadapi Indonesia Emas 2045. Diakses dari: https://repository.takaza.id/181/1/E%20Book%20Strategi%20Penguatan%20Kinerja%20Generasi%20Z% 20dalam%20Menghadapi%20Indonesia%20Emas%202045.pdf
· Universitas Bina Nusantara. (2025). Mengenal Generasi Manusia Menurut McCrindle dan Hubungannya dengan AI. Diakses dari:
https://pgsd.binus.ac.id/2025/02/20/mengenal-generasi-manusia-menurut-mccrindle-dan-hubungannya- dengan-ai